KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim salam dan salawat
kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawakan kita suatu ajaran
yang benar yaitu agama Islam, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Demokrasi Dalam Islam” ini
dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang kami peroleh dari
berbagai sumber yang berkaitan dengan agama islam serta infomasi dari media
massa yang berhubungan dengan agama islam, tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada pengajar matakuliah Pendidikan Agama Islam atas bimbingan dan arahan
dalam penulisan makalah ini.
Kami harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai demokrasi dalam kacamata Islam di kehidupan modern. Memang makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Surabaya, September 2013
Penulis
Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Implementasi Iman Dan Taqwa Dalam Kehidupan Modern
BAB II
MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian iman dan taqwa
3.2 Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan
modern
3.3 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pada akhir abad
ke-20, demokratisasi menjadi salah satu isu yang paling populer
diperbincangkan. Bukti nyata dari kepopuleran isu itu adalah berlipat gandanya
jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Negara yang awalnya
tidak demokratis, juga ikut merubah haluan negaranya menjadi demokratis.
Demokrasi pada
dasarnya adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk
mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan komunal
mereka. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan
hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite
(persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi
manusia).
Islam
menekankan pentingnya ditegakkan amar
ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota
masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Hal tersebut merupakan prinsip Islam
yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat
yang aman dan sejahtera.
Secara normatif Islam memiliki
konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip – prinsip demokrasi. Bagaimanakah
Demokrasi dalam perspektif Islam? Bagaimanakah politik dalam pandangan Islam
dan prinsip – prinsipnya? Dan apa sajakah kontribusi umat Islam dalam
perpolitikan Nasional? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif
Islam dari aspek elemen-elemen musyawarah, sistem politik dan nasionalisme dalam
Islam.
BAB II
DEMOKRASI DALAM
ISLAM
2.1 Pengertian Demokrasi
Menurut KBBI,
demokrasi berarti (bentuk atau sistem) pemerintahan yg seluruh rakyatnya turut
serta memerintah dng perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat atau gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan persamaan hak
dan kewajiban serta perlakuan yg sama bagi semua warga Negara.
Kata demokrasi berasal dari bahasa
Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan
rakyat",[1] yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat"
dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada
abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani,
salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit".
Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun
kenyataannya sudah tidak jelas lagi.[2] Sistem
politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada
pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi
politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern,
kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk
dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah
perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy)
sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.
Di dunia barat, seperti yang diajukan oleh Abraham Lincoln, demokrasi
diartikan sebagai “Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat
(terjemahan dari Government by the people, from the people and for the
people).”
Demokrasi di dunia Barat, seperti di Eropa Barat, Inggris dan negara-negara
persemakmuran, Amerika Serikat dan negara-negara di wilayah Skandinavia,
dilaksanakan dalam kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di mana badan
pembuat undang-undang dilaksanakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan
kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, seperti yang terjadi di
Inggris dan Belanda, atau presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat seperti
yang terjadi di Amerika Serikat dan Prancis.
2.2 Demokrasi Dalam
Perspektif Islam
Meski prinsip demokrasi itu lahir di daerah Barat dan begitu pula dengan
trias politicanya, Demokrasi juga sejatinya merupakan bagian yang tidak
terlepaskan dari Islam. Bahkan sebagian ulama-pun tidak ragu – ragu untuk
menggunakan istilah demokrasi. Contohnya adalah Ustadz Abbas Al-‘Aqqad yang
menulis buku ‘Ad-dimokratiyah fil Islam. Begitu juga dengan Ustadz Khalid
Muhammad Khalid yang menyatakan secara terang – terangan bahwa Demokrasi itu
adalah Islam sendiri.
Hal itu tidak lepas dari beberapa hal dalam Demokrasi yang terkait dengan
Islam. Beberapa diantaranya adalah prinsip Syura (musyawarah) yang tetap ada
dalam demokrasi dalam memutuskan suatu perkara. Begitu pula dengan pemilihan
wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip Syura.
2.2.1. Musyawarah atau Syura’
Pengertian
syura
Secara bahasa
syura berarti ﺷﺮﺖﺍﻠﻌﺴﻞ aku memeras/mengambil madu dari sarangnya (al-maraghi IV,1969: 111) ini mengandung arti syura dilaksanakan
untuk mengambil sesuatu supaya mendapat yang terbaik. Sedangkan menurut istilah
ahli fiqh adalah musyawarah atau tukar pikiran antara orang-orang yang
berkompeten dalam berbagai bidang kajian keilmuan dan kaya pengalaman sehingga
dapat melahirkan suatu kesimpulan yang baik dan benar dalam bentuk
keputusan atau ketetapan sebagai suatu nizham yang harus ditaati bersama.
Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan
musyawarah sebagai berikut:
ﺍﻟﻤﺸﺎﻭﺮﺓ:
ﺍﺴﺗﺧﺮﺍﺥ ﺍﻟﺮﱠﺃﻱ ﺑﻤﺮﺍﺟﻌﺔ ﺍﻟﺑﻌﺾ ﺍﻟﯽ ﺍﻟﺒﻌﺾ
Mengambil
kesimpulan dengan bertukar pikiran satu sama lain (Ar-Raghib, tt: 277). Dari
pengertian itu dapat disimpulkan bahwa syura artinya memusyawarahkan perbedaan-perbedaan
pendapat atas sesuatu untuk melahirkan kebaikan dan kebenaran yang ada di
dalamnya.
Syari’at Syura dalam Islam
Islam telah menuntunkan umatnya
untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga,
bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan individu,
para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah
yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm
berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480]. Dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan
oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis.
Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh
Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi
Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian pula Allah telah
memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para
sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohon\kanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali 'Imran :
159].
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy
Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا
الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy Syura : 36-39].
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”
adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling
bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka
seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-'Azhim 7/211].
Seluruh ayat al-Quran
di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama
Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban,
terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Sesungguhnya AllahTa’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah
untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang
setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan
yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan
peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau
shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar'iyah hlm. 126].
Urgensi dan Faedah Syura
Allah ta’ala telah
menjadikan syura sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi
berbagai persoalan yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain.
Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura sebagai salah satu nama surat
dalam al-Quran al-Karim. Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura
memiliki kedudukan yang penting dalam agama ini.
Urgensi dan faedah
syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy
dalam Mafatih
al-Ghaib 9/67-68.
Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain
adalah sebagai berikut :
a. Musyawarah
yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya
menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini
membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam
menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal
ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.
b. Musyawarah
perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang
mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). Al
Hasan pernah mengatakan,
مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هُدُوا لِأَرْشَدِ
أَمَرِهِمْ
“Setiap kaum yang bermusyawarah,
niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dalam
permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149].
c. Al
Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan
untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi
sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”
Perbedaan
antara Syura’ dan Demokrasi
Syura adalah suatu bentuk
kerjasama dalam menyuarakan pendapat bagi menentukan ketetapan atau perundangan
dalam pentadbiran Islam. Ia berbeda daripada sistem-sistem lainnya disebabkan
tanggungjawab di meja syura adalah sebagai pemikul amanah Allah SWT. Ia
diwujudkan sebagai badan perundangan dan pentadbiran di mana kekuasaannya
berpandukan syariat Ilahi yang disampaikan melalui Al Quran dan Al Sunah
Firman Allah SWT :
إنا عرضْنا الأمانةَ على السماوات والأرضِ
والجبالِ فأَبَيْنَ أن يحمِلْنَها وأشْفَقْنَ منها وحمَلها الإنسانُ إنه كان
ظَلُومًا جَهُولا (الأحزاب 72)
Maka tanggungjawab Khalifah terhadap ummat
adalah sebagai perantara di antara kekuasaan Ilahi dengan urusan pentadbiran
dan jajahan yang diserahkan kepada hambanya. Segala kekuasaan ini diberikan
adalah untuk mendirikan ajaran agama dan melaksanakan tanggungjawab siasah
berpandukan kepada ajaran yang diwahyukan kepada baginda Rasulullah SAW.
Firman Allah SWT:
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمراً
أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالاً مبينا
(الأحزاب 36)
Justru, kewajiban manusia
sebenarnya adalah mengikut garis panduan dan kebenaran berpandukan kekuasaan
حاكمية الله ) ) yang tertinggi. Maka kewajiban mengikut perintah
dan melaksanakan tuntutan syariat merupakan suatu perjanjian yang diberikan
oleh Allah kepada hambanya.
Dari suatu sudut, sistem syura
dan demokrasi dilihat mempunyai persamaan dalam beberapa aspek. Antaranya
ialah:
1.Sebagai suatu sistem pentadbiran dalam
mencapai matlamat untuk melaksanakan beberapa tuntutan kemanusiaan. Ianya
berjalan di atas dasar kewarasan akal fikiran manusia tetapi bukanlah merupakan
suatu sistem yang tetap. Demokrasi mengalami perubahan berdasarkan perubahan zaman
sebagaimana juga syura.
2. Rakyat adalah sebagai pelaksana kepada
ketetapan ataupun perundangan yang dibuat melalui perbincangan. Selain itu juga
rakyat memiliki kekuasaan untuk berijtihad terhadap perkara-perkara yang
tidak diturunkan nas di dalam agama samawi.
Di sana perlulah dijelaskan
bahawa perlaksanaan sesetengah pentadbiran yang menjalankan sistem pilihanraya
bukanlah menunjukkan bahawa ie’tikad kepada sistem barat, sebaliknya ia
hanyalah merupakan wasilah dan bukanlah merupakan maksud ataupun matlamat.
Wasilah hanyalah
perkara-perkara yang berhubung dengan perlaksanaan sedangkan maqasid
ialah matlamat yang terhasil daripada perlaksanaan. Walaupun syura kadang-kadang mempunyai persamaan dengan
beberapa sistem lain tetapi hakikatnya ia adalah berbeza sebagaimana yang
dinyatakan dalam ciri-ciri syura dan demokrasi.7
Keanggotaan majlis syura
Perlaksaan
syura adalah satu tugas dan tanggungjawab yang berat kerana ia melibatkan
penyelesaian kes-kes berat yang berlaku dikalangan umat islam. Jesteru itu
keanggotaan Majlis Syura memerlukan kepada kelakyakkan yang tinggi iaitu ulama
yangberilmu, bersifat adil,bertimbang rasa dan bijaksana.
Sebaiknya
terdiri daripada ulama yang mempunyai latar belakang dalam pelbagai bidang
keilmuan agar dapat memberikan pandangan yang terbaik demi kebaikan umat islam
secara keseluruhannya.
Secara ringkas diterangkan syarat
kelakyakan menanggotai majlis syura;
A) Bersifat warak dan takwa
B) Bersifat benar dan amanah
dalam perbuatan dan amalan
C) Mempunyai keilmuan yang tinggi
dalam bidang keagamaan dan bidang-bidang lain seperti politik atau ekonomi
D) Mempunyai pengalaman yang
waras ikhtsasnya.sekiranya hanya bergantung pada ikhtisas sahja tanpa melihat
kepada pengalamannya dalm menangani permasalaan dikira tidak memadai
E) Ikhtisas dan mempunyai
kepakaran yang mendalam; bukan hanya sekadar kepakaran normal sahaja.
Syarat-syarat
adlah berdasarkan kepada apa yang telah dicatatkan oleh para ulama muktabar.
Syarat-syrat keahlian Majlis Syura mendapat perhatian khusus sebagai satu
langkah berhati-hati dalm hal-ahl berkaitan denagn kenegaraan dan pemerintahan
yang begitu besar.
Islam tidak
meletakkan jumlah yang tertentu dalam satu-satu Majlis Syura tidak terdapat
jumlah minimum atau maksimum. Ia bergantung kepada keperluan semasa . semakin
besar dan komplek suatu pemerintahan, maka semakin besarlah bilangan ahli dalm
Majlis Syura.
2.2.2. Konsensus
atau Ijma’
Pengertian Konsensur atau Ijma’
Ijma’
menurut bahasa mempunyai arti sepakat atau kesepakatan. Sedangkan menurut mayoritas
ulama’ adalah :
هو إتفاق
جميع المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصر بعد وفاة رسول
“Kesepakatan
para imam mujtahid di kalangan umat islam tentang suatu syara’ (hukum islam)
pada suatu masa setelah rasulullah SAW wafat”. Umumnya permasalahan syara’ yang
muncul tidak ditemui dalam nash secara jelas. Semua mujtahid berkumpul dan
saling berbagi pandangan. Pandangan-pandangan mereka itu dilandasakan dengan al
qur’an dan hadits. Dengan tujuan diperolehnya konklusi yang disepakati oleh
seluruh mujtahid yang hadir.
Dari pengertian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ijma’ hanya
dapat berlaku apabila ada kesepakatan dari seluruh mujtahid dan terjadi pada
masa setelah rasul wafat. Dengan demikian kalau ada salah satu mujtahid yang
tidak sepakat atau kesepakatan itu terjadi semasa hidupnya rasul maka ini tidak
dinamakan ijma’.
Kriteria Ijma’
Ijma’ dipandang sebagai suatu sumber hukum islam sesudah al-qur’an dan
hadist jika memenuhi keempat kriteria berikut :
1.
Ada sejumlah
mujtahid ketika ditetapkan hukum atas suatu kejadian .
2.
Kesepakatan
para mujtahid terhadap syara’ tentang suatu masalah atau kejadian itu lahir
tanpa memandang perbedaan negeri atau kebangsaan / kelompok.
3.
kesepakatan
para mujtahid itu diiringi dengan pendapat mereka masing-masing secara jelas
mengenai suatu kejadian, baik secara qouliatau ucapan (misalnya
memberikan fatwa mengenai suatu kejadian) maupun dalam bentuk fi’li atau
perbuatan (seperti menjatuhkan suatu keputusan mengenai hukum suatu kejadian).
Setelah pendapat-pendapat mereka itu terkumpul harus lahir kesepakatan secara
jelas atau muncul pendapat secara kelompok.
4.
Kesepakatan
semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum jika sebagian besar
diantara mereka mengadakan kesepakatan, maka ijma’ itu tidak bisa didasarkan
atas kesepakatan jumlah mayoritas.
Klasifikasi Ijma’
Dilihat dari segi cara melakukan ijtihad, ijma’ dapat dibedakan dalam dua
macam;
1.
Ijma’ Sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum suatu
kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas,
dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan dengan kata lain,
setiap mujtahid menyanpaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkap pendapatnya
masing-masing secara jelas.
2.
Ijma’ Syukuti adalah apabila sebagian mujtahid pada suatu masa mengemukakan
pendapatnya secara jelas terhadap hukum suatu kejadian dengan cara memberi
fatwa atau keputusan. Sedangkan sebagian yang lain tidak menanggapi pendapat
tersebut dengan ucapan dalam hal persesuaian dan perbedaannya.
Dalil Kehujjahan Ijma’
1.
Al-qur’an
Artinya : “Dan barang
siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali”.
1.
Hadist
لاتجمع امتى على الضلالة
“Ummatku tidak akan
bermufakat atas kesesatan”